Bukan Milikku

"Bukan Milikku"
karangan Cut Faradillasari

Menjelang akhir tahun Indonesia selalu diguyur hujan. Apalagi saat memasuki bulan september, jarang sekali aku bisa melihat matahari bersinar cerah. Aku menyesap kopi susu yang sedari tadi berada diantara kedua telapak tanganku. Mentransfer panas untuk sedikit menghangatkan tubuh yang kedinginan.

"Raisa Paramitha Lubis!" Aku menoleh ke arah si pemilik suara. Lelaki bertubuh tegap dengan setelan jas lengkap berdiri di depanku. Alisnya bertaut menunjukkan moodnya yang sedang buruk dan aku tahu apa penyebabnya.

"Bapak memanggil saya?" dia menghela nafas putus asa. Aku tersenyum melihat sikapnya yang menurutku sangat menarik.

"Aku sudah menunggu satu jam di dalam mobil untuk cappucino yang kamu janjikan. Sebentar lagi kajiannya akan dimulai, dan jika kamu masih ingin ikut, berhentilah termenung." Kukira dia sudah pergi meninggalkanku, ternyata..

"Baiklah kalau begitu." dia beranjak pergi. Seketika aku sadar jika tidak mengikutinya sekarang maka aku akan ditinggal.

Lelaki yang duduk di depanku saat ini adalah bosku, Haziq Meridian Billard, cucu pemilik hotel Billard, salah satu hotel ternama di Indonesia. Baru-baru ini mereka mengembangkan usaha di bidang makanan dan pusat perbelanjaan.

Sudah hampir beberapa bulan aku ditugaskan menjadi sekretarisnya, sekaligus pengawas rahasia untuk segala kegiatan religius yang dia ikuti.

Di balik kaca spion terpantul sosoknya yang menyetir dengan serius. Aku masih ingat pertama kali memohon untuk ikut pengajian bersamanya. Awalnya dia mati-matian menolak, jika bukan karena perintah tuan Billard, aku pun sepertinya akan menyerah untuk memohon.

"Kamu duduk di kursi penumpang." ujarnya masih dengan wajah menunduk. Dia jarang sekali menatapku ketika berbicara. "Kenapa?" aku bertanya. Dia menoleh sekilas sebelum kembali mengalihkan pandangannya. "Sederhana. Hanya wanita istimewa yang kuizinkan duduk di sampingku." gumamnya.

Awalnya aku tidak peduli siapa wanita yang dimaksudnya. Tapi akhir-akhir ini aku menjadi penasaran tentang wanita istimewa itu. Pasti dia wanita salihah seperti Faiza dan teman-teman di pengajian. Ada setitik kecewa di hatiku. Apakah lelaki salih hanya untuk wanita salihah? Sepertinya itu tidak adil. Kenapa wanita biasa sepertiku tidak bisa bersama lelaki salih yang mungkin bisa menjadi pintu hidayahku?

Semua pertanyaan itu hanyalah alasan di balik kenyataan bahwa aku telah jatuh cinta padanya.

***

Gadis itu melambaikan tangannya memberi tanda padaku. Aku segera menuju meja tersebut. Di sana ada dua gadis lain seusianya. Baru kali ini aku memiliki teman yang usianya lebih muda dariku.

"Mbak, ini Sabrina dan Aqila. Mereka teman-teman baikku." Aku menyalami kedua gadis itu seraya memperkenalkan diri. Setelah itu kami larut dalam perbincangan basa basi.

"Jadi, mbak belum tanya tentang gadis istimewa itu kepada mas Haziq?" Faiza mengetahui ceritaku. Padahal awalnya aku mengikuti pengajian itu karena perintah 'awasi Haziq'. Tapi entah kenapa orang-orang di sana sangat ramah dan menerima walau penampilanku jauh dari kata syar'i.

Aku menggeleng, "Aku terlalu takut mendengar jawabannya. Lagi pula aku tidak cukup pantas untuk bersanding dengannya."

"Kenapa Mbak berpikir begitu?" gadis bernama Sabrina itu angkat bicara. Dia mengajukan pertanyaan yang aku sendiri tidak yakin jawabannya.

"Entahlah. Aku hanya merasa kalau aku bukan gadis pilihannya. Warna kami berbeda. Dia seperti kapas putih sedang aku setitik tinta. Jika kami bersama hanya akan membuat dia ternoda."

Orang tuaku meninggal ketika aku masih kecil dan aku tidak memiliki keluarga lagi selain mereka. Ini salah satu dampak negatif dari kawin lari. Anak yang dihasilkan seperti tidak diterima di dunia.

Sebuah panti asuhan menampungku hingga mampu membiayai hidup. Tanpa orang tua hidupku kacau dan terlalu bebas. Aku banyak mengenal kepahitan hingga mencari kesenangan dunia, dan sekarang beginilah aku, gadis sebatang kara yang jauh dari kata baik. Jadi apa yang bisa kuharapkan dari seorang Haziq?

Aku hanya bisa memandang dengan kilatan cinta tanpa punya hak bersuara.

***

Sayup-sayup aku mendengar suara merdu yang sangat menghanyutkan. Aku beranjak dari kursi mencari-cari asal suara yang ternyata berada di dalam ruangan Haziq. Aku mengintip dari balik jendela dan... dia sedang membaca Al Quran. Suara merdu itu adalah miliknya.

Satu lagi alasan yang membuatku tidak bisa berpaling.

Jatuh cinta kepadanya membawaku ke jalan penuh cahaya kedamaian. Di sana aku dapat merasakan cinta sang Khalik. Kini aku siap menyambut hidayahNya.


***

"Masya Allah. Aku baru tahu ternyata Khadijah yang lebih dulu melamar Rasulullah. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana wanita yang melamar laki-laki." ujarku pada Faiza.

Hari ini aku dan dia mengikuti kajian muslimah yang membahas seputar pra pernikahan. Di sana banyak sekali hal baru yang kudapatkan terlebih tentang menjaga kesucian cinta untuk mendapatkan keluarga yang berkah.

Terbesit nama Haziq dalam benakku. Mungkinkah kisah Rasulullah dan Khadijah terulang dalam hidupku?

Aku memikirkannya cukup lama. Tapi rasa tidak percaya diri muncul lagi. Jika dianalogikan, Khadijah dan aku bagai mawar dan ilalang. Derajat kami begitu berbeda dan tidak akan pernah dipandang sama.

Sebuah amplop merah berukiran cantik tergeletak di atas meja. Sebuah undangan pernikahan. Aku hendak membukanya sampai telingaku menangkap sebuah percakapan dari beberapa karyawan, "Pak Haziq akan menikah! Kudengar gadis itu yang melamar melalui saudaranya."

Sekujur tubuhku kaku dan tanpa sadar amplop yang berada di tanganku jatuh tak bernyawa. Cintaku pergi tanpa sempat kuhampiri. Sebulir air mata menetes. Hatiku sakit, namun bibirku tersenyum.

***

Lelaki itu memandangiku dengan tatapan heran. Baru kali ini kami berpandangan cukup lama dan kurasa ini yang terakhir kalinya.

"Ini apa?" tanyanya.

Aku memandangi kertas putih yang berada di tangannya, "Surat pengunduran diri saya. Jika Anda menanyakan alasan, saya ingin melakukan hal baru yang belum pernah saya lakukan."

Banyak hal yang masih belum sempat kulakukan. Semua keinginan yang sudah lama aku mimpikan harus tertunda karena kesibukan yang tiada jeda. Aku lelah. Terlalu lelah dengan segala tuntutan dunia, sekarang aku ingin mengejar kedamaian yang sempat kucicipi nikmatnya.

Di balik itu aku sadar telah menyembunyikan alasan paling penting, menjauh darinya dan menata hatiku yang sudah porak poranda.

"Baiklah." gumamnya.

Aku menyodorkan sebuah bingkisan berisi hadiahku untuk dia dan calon istrinya serta ucapan maaf karena tidak dapat berhadir ketika hari bahagianya. Sekali lagi, dia hanya mengangguk dan mengucapkan terima kasih.

***

"Kamu tidak menyesal?" tanya Faiza padaku.
"Jujur saja, aku menyesal. Menyesal karena terlalu takut untuk memulai sehingga didahului oleh orang lain." ucapku.
"Jika saja saat itu kamu tidak terlalu memandang rendah dirimu sebagai ilalang, Mbak. Padahal kamu mencintainya." ujarnya. Aku tersenyum mendengar perkataannya
"Cintaku padanya bukan sesuatu yang harus kupaksakan. Ada kalanya mencintai lebih mulia tanpa memiliki. Itulah mengapa takdir menikahinya bukanlah milikku. Sekarang yang bisa kulakukan adalah merelakannya bersama orang lain. Mungkin ini ujian agar si ilalang terus berusaha menjadi mawar." kataku.

Dari sekian banyak, pengalaman jatuh cinta padanya adalah hal termanis yang pernah kurasakan. Mencinta dalam diam lalu mengikhlaskannya adalah kerumitan semu yang tampak sederhana.
Pada akhirnya aku harus melabuhkan hatiku ke tempat lain yang kuharap lebih baik dari dirinya. Dan menyimpan dalam-dalam kenangan cintaku padanya.

selesai

Terima Kasih Sudah Membaca Artikel Bukan Milikku Jangan Bosan berkunjung ke blog BahasaRemaja.Com dan Follow Saya .

Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan klik disini untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Bahasaremajacom

0 Response to "Bukan Milikku"

Post a Comment

Terimakasih telah membaca artikel yang telah saya berikan. Penulis akan bangga dan mendoakan kebaikan untuk pembacanya :)

Buatlah senang penulis dengan berkomentar :)