Bercinta Dalam Tahajudku
Hilang, sinar rembulan tertutup mendung hitam, tiada bintang, lalu tetesan air hujan pun jatuh mengenai tubuhnya yang terbalut pakaian serba biru dengan dipadukan jilbab warna merah muda yang cantik. Melihat pelataran sebuah toko yang cukup luas, sepertinya digunakan untuk tempat parkir, namun saat itu kebetulan sedang sepi. Seorang gadis masuk ke dalamnya. Allohumma shoyyiban naafi’an. Ia terjebak, sepertinya hujan sangat bersemangat menjatuhkan diri menghantam bumi. Ia terpaksa berdiam di sana untuk beberapa waktu. Ini sudah malam, hampir pukul setengah sembilan. “Mbak, silahkan masuk ke dalam. Di sini sepi, Mbak akan kedinginan.” Ucap seorang pegawai toko dengan nada yang begitu lembut dan ramah. Sepertinya ia bukan orang Jawa Timur, dari nada bicaranya mirip seperti orang dari Jogja atau Solo. Gadis itu diantar masuk ke dalam toko.
“Terima kasih, Ibu baik sekali. Saya hanya berteduh, tidak ada niat untuk membeli.”
“Saya sudah tahu. Terlihat Mbak berdiri di depan toko sudah hampir satu jam. Kebetulan toko sudah sepi karena malam, saya sedang tidak direpotkan melayani pembeli. Jadi baiknya saya mengajak Mbak masuk ke dalam. Di dalam Mbak lebih aman.”
“Saya bisa saja langsung pulang biarpun kehujanan. Saya memburu waktu sebelum jam sembilan harus sudah sampai kos-kosan. Saya harus segera mengembailkkan tugas saya, sementara dihitung dari sekarang masih butuh 30 menit lagi untuk berjalan pulang. Tapi nasib laptop saya nanti bagaimana, saya tidak membawa payung atau jas hujan.”
“Silahkan Mbak bisa duduk di sini, sebaiknya segera dikirimkan sekarang.” Pegawai toko itu menunjuk sebuah kursi kosong dekat kasir.
Beruntung gadis itu bertemu dengan orang yang luar biasa baiknya. Jarang zaman sekarang mendapati orang baik seperti itu, yang masih peduli ketika ada orang lain yang mengalami kesulitan. Tugasnya telah terkirim tepat 20 menit sebelum deadline. Pegawai toko itu juga memberinya kantong plastik besar, dan meminjaminya sebuah payung. Laptop dan bukunya ia masukkan ke dalam kantong plastik itu, lalu semuanya ia masukkan kembali ke dalam tasnya. Ia bisa pulang dan barang-barangnya aman. Lelah sekali untuk hari ini. Hari Kamis, ia berpuasa, tentu sangat berat karena ia harus berangkat dan pulang kuliah jalan kaki. Belum lagi hujan menyulitkan jalan pulangnya. Ia harus menghemat biaya hidupnya. Uang kuliah, transportasi, makan, dan minum, cetak laporan, sewa kos, dan sebagainya. Semua ia andalkan hanya dari uang beasiswa. Ia harus hidup seirit mungkin. Sedikit pun tidak dari bantuan dari orangtua.
Malam yang sunyi, masih terdengar gemericik air hujan. Awet sekali dari tadi sore. Alarmnya berbunyi, tepat pukul 3 pagi, di seper tiga malam terakhir. Ia beranjak turun dari kasurnya dan ke luar. Selang tak lama kemudian kembali lagi dengan wajah cerah nan suci. Ia menggelar sajadahnya. “Tak ada tempat lain lagi aku bisa mengadu. Tidak ada tempat aku menyandarkan diri, aku yang diberatkan sebuah beban. Aku masih memilikiMu ya Allah. Tempat aku bersujud, mengobral segala permasalahanku hingga aku puas, hingga aku bisa bangkit lagi, ringan, dan beban itu terlupakan. Ampunilah segala dosaku.”
“Allah tahu bahwa diri ini tak sedikit pun berniat menyiksa hati bapak dan ibu. Jadikanlah mereka sabar. Allah tahu, aku pun tentu ingin melakukannya. Aku ingin menyempurnakan separuh agamaku, melaksanakan sunnah Rasulku, serta melakukan banyak amal kebaikan dengan cara itu dan tak lain juga mengabulkan harapan orangtuaku. Apalah daya diriku, jodoh adalah takdirmu. Hingga saat ini aku masih menunggu dalam sabarku. Mudahkanlah jodohku ya Allah. Aku ingin menikah tahun ini. Allohummaghfirlii waliwaalidayya warhamhumaa kama rabbayaani shagiiraa. Amin.”
Ia selalu merasa seperti jatuh cinta. Entah pada siapa. Hatinya berbunga-bunga. Seperti ada yang menunggunya. Ia dilanda rindu yang menggebu. Tidak ada bahagia dalam hari yang dilaluinya kecuali saat seper tiga malam. “Ada yang sudah memiliki pasangan tapi belum halal, itu dosa. Ada yang sudah halal tapi tidak bahagia, astagfirullah. Aku beruntung di kesendirianku, Allah terlalu mencintai dan menyayangiku, sehingga selalu ingin aku datang kepadaNya dan mengadu.”
Ba’da duhur, matahari bersinar, memancar hingga menembus sela-sela dedaunan sebuah pohon mahoni besar. Ia menggendong ranselnya yang berat. Duduk di sebuah bangku di bawah pohon itu. “Sudah lama menunggunya?” Tanya seorang lelaki muda dari arah kiri. Nadanya dingin. Lelaki tinggi dan perawakan atletis itu pun mendekat. Mereka berdua duduk berdampingan. “Lumayan.” Jawabnya dengan lembut. Ia mengeluarkan sebuah bungkusan, seperti kado tapi dibungkus dengan koran.
“Afidah, sebenarnya aku yang tidak cukup mengerti atau justru kamu yang tak kunjung sadar diri sih.” Lelaki itu berucap dengan nada tinggi.
“Kenapa kamu bilang begitu? Kamu nggak ngerti posisiku. Harus berapa kali aku menjelaskannya sama kamu. Aku nitip ini saja, apa kamu keberatan? tidak mau?”
“Berikan sendiri!”
“Tidak bisa. Aku mohon pengertianmu. Bilang aku masih ada revisi sehingga tidak bisa pulang liburan kali ini. Ceritakan bahwa aku sehat, aku bahagia, aku tercukupi, dan aku punya banyak teman. Aku segera lulus. Ayolah Amar! aku mohon.”
“Afidah, mereka tidak butuh prestasimu. Mereka sudah tua, semua teman seusianya sudah memiliki cucu lebih dari satu. Maaf aku tidak bermaksud memojokkanmu. Kamu anak pertama, perempuan. Di sini usiamu mungkin yang paling muda, tapi di kampung kamu jadi perempuan perawan yang tertua. Sejak lulus S1 mereka sangat menaruh harapan untuk kamu segera menikah. Berapa banyak laki-laki yang sudah kamu tolak waktu itu? berbagai pertimbangan selalu kamu sangkut pautkan dengan tingkat pendidikanmu. Kamu merasa dapat tekanan sehingga mengambil keputusan ikut seleksi untuk beasiswa S2. Aku tahu sebenarnya ini hanya akal-akalanmu saja untuk melarikan diri. Lihat sekarang! Banyak yang kamu rugikan. Kamu sudah berhenti membantu perekonomian keluarga. Memang hidupmu saat ini murni lepas dari uang orangtua. Itu menurutmu. Tidakkah kamu tahu? mereka menitipkan uang untuk hidupmu di rekeningku. Afidah sadarlah! kamu tidak sedang hidup seperti cerita di sebuah novel yang suka kamu baca. Bukan seperti Dewi Zahrana itu.”
Afidah meneteskan air mata. Kata-kata Amar sangat menusuk begitu dalam di hatinya. Ia pun kaget ketika Amar berucap seperti itu. Sebelumnya Amar berpihak kepadanya. Sudah kesalkah Amar. Afidah sudah tidak bisa berkata apa-apa lagi. Mulutnya terkunci. Ia menelaah ucapan Amar yang banyak benarnya. Sikap Amar yang mengambil bungkusan itu dengan tidak sopan dan langsung pergi meninggalkan Afidah, membuatnya semakin rapuh. Tubuhnya mendadak serasa lumpuh. “Ini kali terakhir aku menuruti kemauanmu. Lain kali lakukan sendiri!” Sentak Amar. Afidah hanya mengangguk pasrah. Amar berjalan meninggalkan Afidah. Ia lalu mengarah ke Masjid yang ada di kampusnya. Ia duduk di sana kemudian ia merebahkan tubuhnya sambil memandangi bungkusan dari Afidah. Matanya berkaca-kaca. Ia merasa menyesal bersikap demikian terhadap Afidah.
“Karena aku menyayangimu. Kenapa kamu tidak mengerti? Kenapa kamu selalu memikirkan dirimu sendiri?” Ucap Amar dengan suara lirih. Seorang pria melintas di dekatnya. Tak sengaja mendengar ucapan Amar. “Saya melihat semuanya bahkan saya memperhatikan sikap kamu terhadap gadis itu. Saya kecewa memiliki mahasiswa yang saya banggakan ternyata kasar pada wanita. Memang saya tidak begitu jelas mendengarnya, dari pandangan anda saya perhatikan anda memarahinya.”
Amar sontak kaget dan langsung terbangun. “Bapak?” Ia menggeleng-gelengkan kepalanya seakan menjelaskan bahwa ia tidak seperti itu. “Namanya Afidah. Dia Kakak perempuan saya. Kami dua bersaudara. Terlahir dari orangtua yang sederhana. Bapak adalah seorang petani dan peternak ikan lele. Ibu seorang penjahit. Afidah itu gadis yang pintar. Semasa sekolahnya selalu berprestasi. Dia seorang yang ambisius.”
“Lulus dari SMA ia ngotot untuk dikuliahkan. Tidak peduli melihat keadaan orangtua. Memang saya rasa orangtua akan mampu, tapi sekolah tinggi di kampung saya adalah hal yang dianggap tidak perlu apalagi Afidah seorang anak perempuan. Banyak laki-laki yang menyukai dan mendekatinya. Dia selalu susah untuk membuka hati. Ia berhasil lari dari perjodohan dan dari laki-laki yang mendekatinya. Ia memang pintar tapi kurang beruntung. Ia gagal pada beberapa seleksi masuk PTN. Akhirnya ia hanya kuliah di Universitas swasta ambil Bahasa dan Sastra Indonesia. Ia lulus satu tahun lebih cepat dan hasilnya cumlaude. Ia lalu menjadi pengajar di sebuah sekolah menengah. Di rumah ia juga mengajari anak-anak kecil sekitar rumah dan juga mengaji. Ia perempuan yang menyukai anak-anak dan sangat sayang pada mereka.”
“Selama setahun ia banyak membantu biaya sekolah saya. Sering membelikan ibu hadiah. Tapi selama itu ia terus ditekan untuk menikah. Ia dijodohkan tapi berkelit dengan pelbagai alasan bahwa Afidah kurang srek. Sejak itu sikapnya jadi pendiam. Saya lulus SMK, Bapak memaksa saya daftar polisi. Begitu inginnya Bapak, sehingga berani mengeluarkan uang berapa pun untuk saya. Afidah menyemangati saya, sehingga ia mendukung dengan syarat tidak menggunakan sogokan sedikit pun. Saya lulus uji tuli dan fisik tapi ada sedikit masalah pada bagian mata.”
“Saya tidak tahu harus melakukan apalagi. Namun Afidah selalu menunjukkan jalan keluarnya. Ia yang mengurus proses saya ikut seleksi masuk PTN. Saya berkaca dari laki-laki yang ditolak Afidah. Saya adik laki-lakinya, ada kemungkinan saya akan menerima balasan dari sikap Afidah. Saya tidak mau kelak menyukai seorang perempuan tapi saya dapat penolakan. Saya harus memiliki sesuatu yang dibanggakan. Afidah menanggung uang jajan saya dari gaji mengajarnya, Bapak dan Ibu bebannya sedikit ringan. Kemudian di semester ketiga saya, Afidah iseng mendaftarkan diri dan diterima beasiswa S2 di PTN sebelah. Ia lakukan itu karena ingin melarikan diri dari tekanan orangtua yang memaksanya menikah.”
“Berapa usianya?”
“Berjalan 24.”
“Masih sangat muda.”
“Tidak di sana, Pak.”
“Karena itu kamu memarahinya?”
“Hampir setahun dia tidak pulang. Tubuhnya kurus, jarang makan. Setiap hari jalan kaki. Ia selalu membelikan Ibu hadiah dan menitipkannya pada saya. Saya harus bilang pada Ibu jika dia baik-baik saja, dia sehat, dan dia bahagia. Padahal sebaliknya.”
“Kenapa dia tidak pulang?”
“Mungkin dia malu. Ibu pernah sakit karena memikirkannya.”
—
Wajahnya lesu. Afidah berjalan memasuki sebuah toko buku. Itu toko di mana dirinya berteduh waktu itu. “Terima kasih, Ibu Rima baik sekali pada saya.” Afidah tersenyum manis sekali. Ia menyerahkan payung yang waktu itu ia pinjam. Ia berbincang dengan pegawai toko itu, mereka terlihat mulai akrab. Kebetulan banyak customer, ibu Rima tidak bisa ngobrol dengan Afidah lebih panjang lagi. Ia mencari kegiatan lain, ia berjalan melihat buku-buku yang dijual di toko itu. Ia melirik sebuah Al-Qur’an dan terjemahnya. Ukurannya tidak terlalu besar, praktis jika dibawa bepergian dan warna lembarannya beragam.
“Harganya 200 ribu?” Ia agak terkejut. Memang indah, pantas jika mahal. Ia tak bisa membelinya. Mengingat Al-Qur’an miliknya sudah terbalut lapisan lakban dan kertasnya mulai menguning. Terkadang untuk melantunkan ayat tertentu ia tak bisa menggunakannya karena ada halaman yang hilang. Ia menggantinya dengan membaca Al-Qur’an digital di laptopnya. Sudah sore. Siapa tahu nanti tiba-tiba hujan. Afidah berpamitan dan hendak pulang. Di depan pintu toko, berdiri seorang anak laki-laki berusia sekitar 5 tahun. Anak itu berdiri sendiri. Ia merangkul serangkai bunga mawar merah.
“Adik, kenapa berdiri di sini sendiri? mana Ibu atau Ayahmu?”
“Di sana.” Ia menunjuk ke sebuah mobil panther cokelat di parkiran.
Seorang pria mendekat. Lalu anak laki-laki itu berlari menghampirinya. “Bicara apa saja pada Kakak cantik ini?”
“Tidak ada. Kata Ayah, Zaka tidak boleh bicara pada orang asing. Kita tidak mengenalnya.”
“Tapi Ayah tahu dia. Kakak ini orang yang baik. Ayo salaman padanya.”
Afidah melongo. “Mengenal saya?” Tapi dia sendiri tidak merasa menganal mereka. “Bapak mengenal saya?” Ia menunjukkan ke arah dirinya sendiri.
“Anda adalah Kakak perempuan salah satu mahasiswa saya, Fakultas Teknik semester 5, mas Amar. Saya pernah mendapati kalian pada percakapan yang ada sedikit pertikaian. Lalu saya menegur Mas Amar karena saya tidak suka memiliki mahasiswa yang kasar terutama pada wanita. Mas Amar menjelaskan bahwa itu salah paham. Maaf saya jadi mengerti permasalahan di antara kalian.”
“Hiih.. si Amar tidak puas memperlakukan aku tidak sopan, ditambah menceritakan aib saudaranya pada orang lain.” Afidah menggerutu dalam hati. Ia mengalihkan pandangannya pada anak laki-laki itu. “Adik bawa banyak bunga mawar. Boleh Kakak minta satu? tanda persahabatan.”
“Maaf, tidak boleh. Ini hadiah untuk Ibu.”
“Oh iya maaf. Iya ya, Kakak lupa kalau hari ini adalah hari Ibu.”
—
Malam yang penuh cinta. Dengan wajah yang bersinar nan suci, masih menyisakan basuhan air wudu. Ia menggelar sajadahnya. Dua rakaat tapi penuh makna. Ia bercinta di setiap kali tahajud tiba. Hatinya terdengar berontak. Seperti deru angin yang meniup dan menerbangkan aliran darah di sekujur tubuhnya. “Aku kian hari merasa begitu bahagia bersamaMu. Mungkinkah Allah menuntunku hingga aku akan sampai pada akhir perjalanan di penantianku yang penuh dengan sabar.” Ia merasa bersemangat dan damai malam itu. Ditambahkan surah Maryam, ia melanjutkan melantunkan sambungan ayat dari ayat yang terakhir ia baca. Semakin terasa tenang hatinya. Ia memandangi Al-Qur’annya yang sudah lusuh. Ia masih ingin membeli seperti yang ada di toko buku itu. Niatnya membeli sudah hampir terealisasi. Sayangnya, uang yang genap 200 ribu tinggal 150 ribu saja. Ia bertemu anak tetangga, tinggal di depan kosnya, seorang anak yatim. 50 ribu ia sodaqohkan. “Semoga berkah. “Amiin.” Tiba-tiba ia ingin salat istiqarah. Untuk apa? calon saja belum punya. Tapi ia tetap melakukannya.
“Tok.. tok..tok. Assalamualaikum.” Terdengar seperti suara Amar.
“Ada apa, Mar?”
Amar menariknya ke luar dan membawanya pulang ke kampung. “Ini, Afidah, Ibu.” Amar mendorongnya. Ibu menangkapnya dengan pelukan. Mendengar isak tangis ibunya, tangis Afidah pun pecah. “Afid minta maaf. Ini Afid pulang, Afid tidak akan pergi meninggalkan Ibu.”
“Astaqfirulloh.” Afidah melirik Hpnya. Sudah jam 5 pagi, ia lompat ke luar kamar. Seusai salat subuh, ia merenungi mimpinya. “Apa aku sudah keterlaluan? sepertinya ucapan Amar memang benar. Ibu, Afidah minta maaf, tidak pernah bermaksud begitu.”
Ia teringat beberapa hari yang lalu, Agung mengontaknya. Ia adalah salah satu lelaki yang mendekatinya tapi Afidah tidak meresponnya. Ketika Agung sudah tidak peduli pada Afidah, berbalik dia mendatanginya. Afidah mulai bisa membuka hati tapi terlambat. Agung acuh padanya. Itulah memuncaknya kekecewaan Afidah dan tekad untuk pergi jauh. “Apa dia sudah mulai mencariku lagi? Tapi dia lulusan SMA. Ah, tapi dia PNS. Tapi aku sangat ingin segera menikah. Dia baik.” Bisikan-bisikan itu terngiang di telinganya. “Tidak ada salahnya aku pulang. Kami bertemu dan bicara untuk berencana dari awal lagi.”
—
“Mas Amar, saya ingin bertanya sedikit tentang Kakak perempuan anda waktu itu.”
Mereka berjalan bersama ke luar dari Masjid kampus.
“Iya, silahkan. Bapak ingin menanyakan apa?”
“Apakah Kakak anda sudah menikah sekarang?”
Amar merasa sedikit heran dengan pertanyaan dosennya itu. “Belum. Siapa yang mau menikahinya? yang ada para pria minder mendekatinya. Jika ada yang sama level dengan Afidah, kemungkinan para pria itu sudah tidak muda. Memangnya kenapa ya Pak?”
“Saya ingin membantu. Ada seorang yang mungkin bisa kita kenalkan. Nanti akan saya tunjukkan dan kita bicara lagi setelah saya dari kelas anda siang nanti.”
—
Ibu dan bapak bahagia mendengar kabar baik yang ia bawakan. Dua hari sudah pulang ke kampungnya, ia bertemu dengan Agung. Mereka sudah bicara. Lalu Afidah mengabarkan jika bapak dan ibunya merestui maka Agung akan menemuinya. Tentu orangtuanya langsung setuju. Hp Afidah berdering.
“Iya, wa’alaikumussalam.”
“Apa? Kenapa kamu mendadak sekali bilangnya? sudah ada laki-laki yang akan melamarku. Beberapa hari lagi akan menemui Bapak dan Ibu. Kamu gila Amar.”
“Masih baru beberapa hari kan? terimalah yang melamarmu lebih dulu. Dia seorang pria yang sudah dewasa. Usianya 33 tahun. Seorang duda anak satu. Istrinya meninggal empat tahun yang lalu. Lulusan S3. Goodlooking. Yang paling utama adalah agamanya baik. Aku jamin. Jangan terlalu pilih-pilih dan menerapkan banyak pertimbangan. Kami besok pagi akan sampai. Sekarang kami masih di perjalanan.”
Ia merenung. Ia sudah tidur sejak masuk awal malam. Setelah salat isya. Afidah terbangun dan menemui cintanya seperti malam-malam biasanya. Setelah itu ia tak bisa tidur lagi. Ia merenung hingga subuh. “Apa Amar sudah gila? seorang duda? usianya terpaut jauh dariku. Selisihnya sembilan tahun lebih tua dariku. Memang Agung belum mengkhitbahku.” Tapi… Pagi itu, pagi di kampungnya yang sudah lama tak ia nikmati. Ia menyapu halaman rumah. Ada sebuah mobil panther cokelat berhenti di depan rumahnya. Ia berhenti sejenak dan meletakkan sapunya.
“Amar?” Ia sangat kaget. Dan parahnya, dag dig dug.. hatinya berdegup tak karuan. “Jangan-jangan Amar bersama dengan pria yang disebutnya tadi malam, aku harus bagaimana?” Gumamnya dalam hati. Afidah heran, Amar turun bersama dosennya. Ya, ia yakin dia itu pria bersama anak laki-lakinya di toko buku beberapa waktu lalu yang ia temui itu. Mengaku adalah dosen Amar. Lalu, di mana laki-laki yang akan dikenalkan padanya? Mereka berkumpul di ruang tamu. Ibu Amar memasak banyak untuk tamu istimewa. Afidah membuat teh jahe hangat yang begitu nikmat. Tapi Afidah masih melirik mobil yang terparkir di halamannya. “Mana laki-laki itu?”
Amar mulai bicara dan selanjutnya dilimpahkan pada dosennya. Bla..bla..bla.. dan pada intinya, “Nama saya Fauzan. Saya adalah laki-laki itu. Saya seorang pria berusia 33 tahun. Duda beranak satu. Anak saya laki-laki berusia 6 tahun namanya Zaka, maaf kali ini dia belum bisa ikut ke sini. Saya sudah mendengar banyak cerita tentang Mbak Afidah dari Mas Amar. Saya juga sudah minta izin pada Zaka. Mbak Afidah sudah bertemu dengannya, Zaka menyukai Mbak Afidah. Oleh karenanya, saya semakin mantap untuk menanyakan ketersediaan Mbak Afidah apakah bisa menjadi istri saya dan Ibunya Zaka.” Afidah meneteskan air mata. Ia terenyuh dengan kalimat yang bijaksana itu. Siapa yang mengira usianya 33 tahun. Sekali bertemu dengannya, ia pikir dia pria berusia 28 tahun. Terlihat wajahnya masih muda.
—
Afidah memandangi mas kawin yang didapati dari suaminya. Sebuah Al-Qur’an dan terjemahnya, berwarna hijau mungil. Ia teringat tidak bisa membelinya, kini Allah menghadiahi lebih dari itu. Orangtuanya begitu bahagia. Afidah sudah membuktikan sekolah tinggi membawa banyak berkah baginya dan kedua orangtuanya. Derajat orangtuanya terangkat karena pendidikan dan suaminya. Afidah tinggal di Surabaya. Bersama suami dan anak tirinya. Afidah bisa melanjutkan S2-nya tanpa terbengkalai karena masalah biaya. Ia semakin bersemangat untuk cepat lulus. Bahagia, suaminya bisa menjadi teman diskusi untuk penulisan tesisnya. Afidah bisa bercinta bersama di sepertiga malam terakhir dengan suaminya. Tahajud yang penuh cinta.
Selesai
Cerpen Karangan: Khusnul Imamah
Facebook: Khusnul Imamah
Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan
klik disini untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Bahasaremajacom
0 Response to "Bercinta Dalam Tahajudku"
Post a Comment
Terimakasih telah membaca artikel yang telah saya berikan. Penulis akan bangga dan mendoakan kebaikan untuk pembacanya :)
Buatlah senang penulis dengan berkomentar :)